"Ada Usaha, Ada Nilai"
Jumat, 26 Oktober 2012
Travel In Love
“Kata orang, perjalanan
akan menguji cinta. Aku tidak merasa ini cara yang bagus. Perjalanan adalah
cara untuk menikmati hidup, jadi tidak bisa dianggap suatu misi, terlebih lagi
dijadikan suatu kesempatan untuk mengawasi pasangan.”
Saat itu
di Leshan, Provinsi Sichuan, barat daya China, Li Qi sempat bertengkar dengan
Liang Lu setelah mengunjungi situs Buddha raksasa. Sebelum kemudian mereka akur
lagi dan kembali menikmati perjalanan.
Buku catatan perjalanan
ini mengarah pada tema abadi: cinta. Dua orang penulisnya, Liang Lu dan Li Qi,
sepasang kekasih yang gemar jalan-jalan. Mereka memutuskan berhenti bekerja
sebagai wartawan demi bertualang bersama. Berkeliling China, mereka mengunjungi
60 kota, 14 provinsi, dan wilayah-wilayah otonom di “Negeri Tirai Bambu”. Tentu
saja bertaburan kisah romantis di buku yang cukup tebal ini.
Yang menjadi narator
adalah Li Qi, si perempuan. Dia menulis buku ini layaknya sebuah novel dengan
alur kisah maju dan diselingi beberapa kilas balik. Sebagai pembuka, Li Qi
mengisahkan sekelumit mengenai dirinya. Sejak remaja hingga kuliah S2, dia
sudah suka bepergian, tapi sendirian. Saat bekerja sebagai wartawan di
Shenzhen, Provinsi Guangdong, daerah selatan China, dia sekantor dengan Liang
Lu yang kemudian menjadi pasangannya. Sejak itu, petualangan bersama dimulai.
Kita bisa dengan nikmat
menganggap buku ini seolah novel. Dengan dua tokoh utama yang beda karakter.
Liang Lu ekspresif, sementara Li Qi kaya pertimbangan. Li Qi menyebut
pasangannya agak bodoh, tapi itu tidak masalah karena dia mencintainya. Ya,
kisah kerap berpusat pada dua orang yang dimabuk cinta ini. Li Qi dengan apik
dan santai, serta insting kepenulisannya yang terasah bertahun-tahun sebagai
wartawan, menautkan segala ihwal yang didapat dalam perjalanan dengan
keberadaan dunia kecil dia dan Liang Lu.
Galibnya buku catatan
perjalanan berbobot, Travel in Love menawarkan bukan hanya gambaran detail
sebuah tempat yang disinggahi, melainkan tentang manusia dan kebudayaannya,
tentang hal-hal partikular yang berlaku di tempat tertentu.
Awal Petualangan
Pertama, tahun 2005,
mereka pergi ke Kota Tua Lijiang di Provinsi Yunnan. Di Lijiang, selama setahun
mereka mengelola Pondok Lu Qi (kependekan dari Liang Lu & Li Qi), sebuah
penginapan yang kemudian tersohor di kalangan backpacker China. Lijiang adalah salah
satu destinasi wisata utama di China, tempat bermukim suku minoritas Naxi.
Sejak 1997, Lijiang masuk daftar world heritage site UNESCO.
Dalam catatannya tentang
suku Naxi, Li Qi menggambarkan, “Kebanyakan rumah suku Naxi dibuat dari kayu.
Di depan rumah biasanya digantungkan benda yang disebut ‘yu’ (ikan). Untuk memberi
kesan di dalam rumah terdapat banyak air karena yang paling ditakutkan rumah
berbahan kayu adalah api. Konon, dengan digantungkannya ‘yu’ dapat mencegah api
datang. Sebagian orang menggantungkan boneka kayu yang memiliki taring,
disebut-sebut sebagai dewa api, untuk dipuja agar rumah mereka terhindar dari
api.” (halaman 37)
Setelah sukses menjadi bos
penginapan, Liang Lu dan Li Qi baru benar-benar memulai perjalanannya
menjelajahi China. Di Dali, Provinsi Liaoning, mereka antara lain mengunjungi
Kuil Tiga Pagoda atau Kuil Chongsheng yang dibangun pada masa Dinasti Tang
(618-907). Demi menghemat isi kocek, mereka kadang memutar otak agar bisa masuk
ke tempat wisata tanpa membayar. Di beberapa tempat, ini jadi pengalaman lucu
sekaligus menegangkan. Mengenai soal ini mereka memang bisa disebut sepasangbackpacker nakal.
Liang Lu dan Li Qi
merupakan pasangan yang serba ingin tahu. Kepada pemandu di setiap tempat
wisata yang dikunjungi, mereka suka menanyakan segala hal, termasuk: mengapa
kamu bekerja menjadi pemandu wisata? Sudah menikah? Dan seterusnya. Maka,
dengan beberapa pemandu, mereka pun jadi sangat akrab. Salah satunya adalah Xi
Siku. Dia pemandu wisata di Jiuzhai, sebuah danau indah di pedalaman Provinsi
Sichuan—salah satu tempat pembuatan filmYing
Xiong (Hero) (2002) yang
dibintangi Jet Li itu.
Hubungan mereka tidak
berhenti setelah kembali ke tempat asal. Pada 12 Mei 2008, beberapa tahun
setelah perjalanan Liang Lu dan Li Qi ke Jiuzhai, terjadi gempa bumi di wilayah
tempat Xi Siku tinggal. Banyak orang meninggal dunia, termasuk ayah Xi Siku.
Rumah Xi Siku yang dibangun dengan susah payah hancur. Karena sangat prihatin
dengan keadaan itu, Liang Lu dan Li Qi dengan cepat menjual sebuah rumah mereka
di Huizhou. Hasil menjual rumah disumbangkan pada Xi Siku.
Ya, cerita apik dan renik
seperti soal persona Xi Siku, atau soal pertemuan dengan sesama backpackeryang
kadang menyenangkan tapi tak jarang juga menjengkelkan, melengkapi soal-soal
detail kebudayaan, karya-karya sastra, filosofi, juga anekdot setempat di
setiap daerah yang dikunjungi. Hal-hal kecil memang bisa jadi kekuatan dalam
buku semacam ini. Ini mungkin seperti diungkap Jason Wilson, inisiator antologi
tahunan The Best American Travel Writing (2000), musafir-pelancong adalah
pencatat segala yang partikular. Menurut Wilson, “Membaca laporan seorang
sastrawan-pelancong tentang hal-hal partikular, hal-hal kecil, cara-cara khusus
manusia di suatu tempat berbicara dan bertindak, mungkin merupakan cara terbaik
untuk melampaui berbagai klise tentang orang lain.”
Soal filosofi, di rumah
penduduk di Dali, mereka mencatat sebuah pelajaran. Mereka mencicipi sajian teh
san dao (teh tiga rasa) yang terkenal. Nama teh ini diambil dari ungkapan
sebuah legenda filosofi, “Saat belajar apa pun, kita harus melewati pahitnya
terlebih dahulu, barulah kita akan berhasil.” Cara menyajikan teh san dao
sangat unik. Sajian pertama teh sangat wangi, tapi pahit sekali. Sajian kedua,
ke dalam teh ditambahkan gula merah, hazelnut, wijen, dan rushan, rasanya
sangat manis dan sedap. Sajian ketiga, ke dalam teh dimasukkan madu dan daun
pedas. Di dalam manis terasa pahit, di dalam pahit terasa manis, manis sedikit
pedas, karena itu disebut “teh kenangan”. Konon, sang filosof zaman dahulu
berkata, “Pertama pahit, kedua manis, ketiga kenangan. Belajar maupun
bermasyarakat, semua seperti itu.”
Pasangan Liang Lu dan Li
Qi mungkin memang avonturir sejati. Li Qi berkata kepada Hu Yi, seorang tamunya
di pondok Lu Qi, “Kami menjadi berani karena tidak ada orang yang memberi kami
kesempatan untuk lari. Namun, mereka yang punya perasaan memiliki di hatinya,
selamanya tidak akan memiliki rumah. Jadi, jangan menggantungkan harapan pada
mimpi orang lain, terutama jangan merajut mimpi berdasarkan ceritaku.”
Sayangnya buku ini minus
foto-foto. Padahal, Li Qi menyebut Liang Lu gila foto. Apa pun yang buat dia
menarik dijadikannya objek jepretan kamera. Keindahan alam dan eksotisme
kebudayaan yang direkam Liang Lu dan Li Qi bakal membuat siapa pun yang punya
minat terhadap China ingin melihatnya secara langsung. Pergi sendirian atau
dengan rombongan. Atau berduaan saja bersama pasangan terkasih seperti Li Qi
dan Liang Lu.*
Langganan:
Komentar (Atom)